Filled Under: , ,

SEJARAH KAMPUNG BURENG DAN KETURUNANNYA

 

SEJARAH DAN BUKTI KEBERADAAN KAMPUNG BURENG

a. Sejarah kampung Bureng 

Kampung Bureng adalah salah satu kampung kuno (tua) di Kota Surabaya. Kampung yang berlokasi di wilayah Karangrejo, Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Wonokromo ini ternyata menyimpan banyak peninggalan sejarah perkembangan Islam di Surabaya . Mulai dari masjid tua, Makam Waliyullah hingga Pesantren. 

Sampai saat ini masih belum ada yang menemukan data terkait kapan berdirinya Kampung Bureng.  Namun beberapa petunjuk pernah ditemukan kapan Berdirinya kampung Bureng tersebut yakni Petunjuk tentang berdirinya Masjid Bureng yang dalam Renovasi masjid Bagaian Serambi pernah ditemukan Tegel yang tertulis pembuatannya di tahun 1780 an .

Seperti tipikal kampung-kampung tua di Beberapa daerah  yang didominasi Kaum Santri , Para Sesepuh  yang membuka Perkampungan Baru ( Babat Alas ) Merupakan orang yang mempunyai / diberikan kelebihan tertentu oleh Allah SWT baik dari Ilmu , Kekuatan (Kesaktian ) ataupun Keimanan yang Matang , Beliau-beliau tak jarang adalah  Waliyullah .  Pembukaan kampung (Babat Alas ) akan selalu dibarengi dengan mendirikan Masjid Sebagai pusat pengembangan Ilmu , pengembangan Budaya dan Pengembangan ekonomi dari Penduduk Kampung tersebut , begitu juga dengan Kampung Bureng. 

b. Bukti Keberadaan Kampung Bureng dan Peranan di Masa Lampau

Sebuah temuan ahir-ahir ini diketemukan bukti keberadaan kampung Bureng pada postingan Ahmad Ginanjar Sya'ban yang menyebutkan , Beliau diperlihatkan pada salah satu manuskrip koleksi Qatar National Library (QNL) oleh Bapak Ihsan, orang Indonesia yang bekerja sebagai muthawwa’ (muadzin) di salah satu masjid di Doha yang juga pengurus PCINU Qatar. Koleksi manuskrip tersebut berupa al-Qur’an yang berasal dari Pulau Jawa, pada kurun masa pertengahan abad ke-19 M. Manuskrip tersebut berbahan kertas Eropa, dengan ukuran sedang, berjumlah halaman 403. 


karena manuskrip tersebut merupakan al-Qur’an, bahasa teks pada manuskrip adalah bahasa Arab. Namun, pada dua halaman terakhir, terdapat teks lain di luar teks utama (parateks) yang ditulis dalam bahasa Aran dan juga bahasa Jawa aksara Arab (Pegon) , Parateks tersebut memuat informasi  terkait jejak sejarah jaringan keilmuan ulama Nusantara pada kurun masa pertengahan abad ke-19 M, yang menghubungkan wilayah Jawa Barat dengan Jawa Timur, khususnya Cirebon dengan Surabaya.

Pada halaman 402 dari manuskrip tersebut, terdapat parateks berbahasa Arab dengan campuran bahasa Jawa Pegon, sejumlah 8 (delapan) buah baris, sebagaimana berikut:


والله أعلم بالصواب والخطاء. تم (؟) هذا القرآن الكريم من يوم / الإثنين وشهر ربيع الأخير 15. هذا صاحب القرآن "أفرأيتم" / في بلد الكبير شربون وفي قرية رجاݢالوه. ويکتب الکتاب / هذا في بلد الکبير سورفرڠݢو اڠ دلم کمفوڠ فکوت أويت /  نوليس. وشيخ المسمّى کياهي محمد شرف. / أنفون مرني نولس أن کمفوڠ بورڠ. تم في يوم الإثنين / في شهر ربيع الأول في الهلال 8. تم هـ ر ر هجرة النبي / صلى الله عليه وسلم من مکة الى المدينة 1274 وفي سنة ج أخير. هـ

(wallâhu a’lam bi al-shawâb wa al-khata. Selesai menulis kitab al-Qur’an al-Karim ini pada hari / Senin, bulan Rabi’ul Akhir [tanggal] 15. Pemilik naskah al-Qur’an ini adalah “Afaroaitum” / dari negeri besar [karesidenan] Cirebon, dari desa Rajagaluh. Kitab ini ditulis / di negeri besar Suropringgo [Surabaya], di dalam kampung p.k.w.t [Pogot?] mulai / menulisnya. Adapun guru [saya] bernama Kiyai Muhammad Syarof. / Adapun [?] menulis ada di kampung Bureng. Selesai pada hari Senin / bulan Rabi’ul Awal tanggal 8, tahun Hijrah Nabi Saw dari Makkah ke Madinah 1274, bertepatan dengan tahun [Jawa Mataram] Jimakir)

Dari (para)teks di atas, setidaknya terdapat beberapa data dan informasi yang bisa kita gali dan dapatkan. Di antaranya:

  1. Manuskrip tersebut selesai ditulis pada hari Senin, tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun 1274 Hijri, atau bertepatan dengan 26 Oktober 1857 Masehi. 
  2. Penulis dan pemilik manuskrip tersebut bernama “Afaroaitum”, yang berasal dari kampung Rajagaluh. belum diketahui , apakah “Afaroaitum” tersebut nama sebenarnya, atau hanya nama samaran (alias). Pada masa itu, Rajagaluh termasuk ke dalam karesidenan (balad al-kabîr) Cirebon. Pada saat sekarang ini, Rajagaluh merupakan desa dan kecamatan yang secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. 
  3. Penulis menyebut jika dirinya menulis naskah tersebut di wilayah besar (balad kabîr) Surapringga. Surapringga sendiri merupakan sebuah nama kawasan lama bagi kota Surabaya, ( Sebuah riwayat menyebutkan Masjid Kemayoran pernah ada musala kecil sebagai acuan didirikan masjid. Ini sebagai pengganti masjid yang dibongkar di alun-alun Surapringga )   Jawa Timur. Di Surapringga, pada abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20 terdapat sebuah masjid besar, keraton dan alun-alun yang menjadi ikon wilayah tersebut. Saat ini, tidak lagi ditemukan bekas bangunan masjid, keraton dan bahkan alun-alun Surapringga. Sekarang, bekas kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan tugu pahlawan di kota Surabaya.
  4. Terdapat dua buah kampung di balad kabîr Surapringga (Surabaya) yang disebut di dalam manuskrip tersebut, yaitu kampung Pogot dan kampung Bureng
  5. Di dalam manuskrip tersebut disebut seorang nama ulama dari Pesantren Bureng, bernama Kiyai Muhammad Syarof  (Syarif), yang menjadi guru daripada “Afaroaitum” Rajagaluh. 


Terkait Pesantren Bureng di Surabaya. Pesantren ini tampaknya menjadi salah satu kiblat yang penting dalam tradisi intelektual dan pendidikan Islam di kawasan timur Jawa pada abad ke-19 M. Di kurun yang sama, selain Bureng, terdapat pula pesantren tua lainnya di Jawa Timur yang menjadi kiblat serupa, yaitu Pesantren Sidoresmo (Dresmo) di Surabaya dan Pesantren Tegalsari di Ponorogo. 

Keberadaan pesantren-pesantren tersebut sebagai tujuan tempat belajar dan menuntut ilmu pada abad ke-19 M tidak hanya berlaku bagi para santri dari Jawa saja, tetapi juga bagi santri asal wilayah Sunda. Dalam manuskrip catatan perjalanan Snouck Hurgronje sepanjang tahun 1889–1891 yang merekam ratusan nama ulama di Sunda, Jawa dan Madura, disebutkan jika hampir mayoritas para ulama besar Tatar Sunda yang berkarir di akhir abad ke-19 M pernah belajar di Surabaya.

Selain Kiyai “Afaroaitum” dari Rajagaluh, Majalengka (Cirebon), dijumpai pula dua orang ulama asal Tatar Sunda lainnya yang pernah tercatat belajar di Pesantren Bureng. Keduanya adalah Kiyai Adzro’i dari Bojong (Garut) dan Kiyai Muhammad b. Alqo dari Sukamiskin (Bandung). 

Informasi ini di dapatkan dari sebuah manuskrip peninggalan Kiyai Muhammad b. Alqo Sukamiskin, yang pada kurun masa tahun 1880-an tercatat pernah belajar di Pesantren Bureng dan di sana ia berjumpa dengan Kiyai Adzro’i Bojong yang tertulis Pada halaman ke-17 dari manuskrip peninggalan tersebut Tertulis di sana dengan bahasa arab pegon berbahasa sunda :


نوقلنا حج محمد انك علقى رادين داؤد أكي تبفا. سسفا عبد الكريم جنڠننا ݢورو طريقة. كتلهنا كيائي أݢوڠ نو تسمر. مريد خطيب شمباس بن عبد الغفار موݢا٢ أسه الله أنو صفة قهار. 1 كيائي خاتم فسنترين فندي لمباڠن ݢورو نو ممت ڽاهو أكسر عراب. 2 كيائي حج أسيف صالح فسنترين چهنتف ݢاروة ݢورو قراءة قرآن. 3 كيائي مس عون سيراڠ لمباڠن ݢورو چچراكن علم صرف جڠ علم نحو جڠ ݢورو طريقة شطارية تفي دتندا سيه هنت كوڠس نروس هرتنا وقتو كر بودك كينيه عمر 12 تهون. أينا فنده كا كيائي أݢوڠ منڠ طريقة نو ڠرڠكف ڽايت قادرية جڠ نقشبندية. نو متك فنده لقوله عليه الصلاة والسلام لو كان موسى حيا ما وسعه إلا اتباع. 4 كيائي عارف فسنترين تڠه لمباڠن ݢورو بلاجر لغة تفسير جلالين تمبه كيائي إسماعيل (؟) 5 كيائي مجالام دڠدر تروݢوڠ ݢورو مچا صلوة شرط عبادة. 6 كيائي رادين حج إرشاد أرجاسري ݢورو فرائض جڠ سݢال أسها فݢاويان جڠ ايتوڠن جڠ علم معراج. 8 أچيڠ ازراعي ݢاروة. وقت دفسنترين بورڠ سرابيا ݢورو علم فقه علم نحو ݢدي٢ علم مدح نبي. 9 مس كيائي أبي الحسن فسنترين بورڠ سرابيا ݢورو علم تصوف كيا حكم منهاج العابدين جڠ ݢورو فقه اقناع. 10 كيائي صبر فسنترين سفنجڠ سدرجا ݢورو علم عروض جڠ فقه ݢدى كيا فتح الوهاب اقناع نحو دئي. 11 كيائي من حج (منهاجي) فسنترين ببدن سدرجا ݢورو عقائد جڠ حكم دئي. 12 كيائي حسب الله مدورا فسنترين جوانا  ݢورو ڠجادكن سݢل علم٢ الة ڽاهو مسألة بنرن. 13 كيائي حسن مصطفى ݢاروة وقت دمكة ݢورو ڠؤسحكن علم سݢل نو بس كاسبوة جبا فرائض. 14 شيخ حسب الله بن سليمان مكة ݢورو ڠصحكن علم الة دئي تبركا (؟) سئتك زمان. والله أعلم

Sesuai dengan yang tertera pada teks berbahasa Sunda aksara Arab (Sunda Pegon) di atas, penulis menyebut empat belas (14) orang ulama yang menjadi gurunya dari pelbagai wilayah, mulai dari Sunda, Jawa, Madura, hingga Arab di Makkah. Masa pembelajarannya kepada ulama-ulama tersebut bisa diperkirakan pada rentang tahun 1850–1880-an, sebelum kemudian beliau mendirikan Pesantren Sukamiskin di Bandung pada tahun 1881. 

Nama-nama guru lainnya adalah para ulama dari Jawa Timur, meliputi Mas Kiyai Abil Hasan (Pesantren Bureng, Surabaya), Kiyai Shobar (Pasantren Sepanjang, Sidoarjo), Kiyai Minhaji (Pesantren Babadan, Sidoarjo) dan Kiyai Hasbullah Madura (Pasantren Juwana?).

Banyak cerita-cerita  mengenai berdirinya kampung Bureng yang secara geografis tidak terlalu jauh dari kampung Nderosmo ini  , Kalau di nderesmo dikisahkan nama tersebut berasal dari " seng nderes Limo " maka ada kisah jika kampung Bureng diambil saat ada peristiwa cerita , pernah suatu ketika ada mata-mata Belanda dari orang pribumi melaporkan salah satu pejuang yang sedang dalam pencarian (DPO Belanda). Karena laporan itu, pejuang itu pun dikejar-kejar sepasukan Belanda hingga menuju Kampung Bureng , Masuklah pejuang itu ke dalam pesantren. Saat mau ikut masuk ke dalam pesantren itulah mereka ditampakkan oleh seekor ular naga raksasa mengelilingi pesantren. Spontan saja mereka (tentara belanda) berlari ketakutan meninggalkan Kampung Bureng dengan tangan kosong,

Cerita lain adalah dengan Pernah satu ketika, Pemerintah Belanda berencana membuat jalan tembus dari RSAL sekarang menuju kantor Kodam V Brawijaya. Namun setelah diteropong oleh ahlinya, wilayah yang termasuk Kampung Bureng ini tidak dapat ditembusnya. Akhirnya tidak jadi membuat jalan tembus tersebut. hingga konon Nama Bureng yang berarti " Gelap /Buram/ Remang-remang " banyak disebut penduduk 

b. Kampung Bureng saat ini dan Perkembangannya

Kampung Bureng yang Konon ceritanya merupakan Awal perkampungan yang ada di daerah Wonokromo  setelah Nderosmo ( Sidoresmo ) di Jagir , mempunyai Wilayah yang Luas yang saat ini sudah berganti nama dengan Karangrejo . Kampung Bureng yang berdiri Masjid yang bernama Masjid At-Taqwa dan berdiri Pondok Bureng dalam perkembangannya mengalami perubahan dari Luas Wilayah , Pembangunan dan Penduduknya . 

Kampung yang dulu cukup luas dengan Sawah-sawah disekitarnya ( yang sekarang bernama Karangrejo Sawah ) yang saat itu menjadi lahan pertanian dan lahan mencari rizki dari penduduknya berubah Fungsi dan kepemilikannya , Penduduk Asli kampung Bureng yang tinggal disekitar Masjid Bureng dengan Sifat " Wiro'i " nya tidak terlalu memperhatikan kepemilikan tanah-tanah tersebut sehingga pada masa pendudukan belanda tanah-tanah tersebut dibagi-bagikan belanda untuk digarap , dan berahir dengan kepemilikan yang diberikan ke  penggarap yang bukan orang asli bureng. 

Pada jaman penjajahan, cerita tentang Perjuangan para Orang-orang sholeh kerapkali menjadi perhatian belanda , di Lokasi yang tidak jauh dari Bureng yakni di Nderosmo Perjuangan  Sayyid Ali Akbar  hingga keputranya Sayyid Ali Ashghor . ( Baca  Juga Ponpes Nderosmo ) membuat Belanda beberapa kali harus Menyerah dan menggunakan cara Liciknya ,  Pemerintah Belanda sengaja menempatkan orang-orang yang dipandang memiliki ilmu agama, kanuragan atau kesaktian, disebar ke wilayah yang berjauhan. Perlawanan dan perjuangan  Belanda memberikan tanah gendom sebagai tanah hibah kepada orang-orang yang dianggapnya kuat. Hal ini bertujuan supaya orang-orang yang berilmu  mudah diciduk pada saat terjadi pergolakan.

Belanda sengaja memecah kekuatan para ulama ini untuk melemahkan perjuangannya. Mereka (Belanda) saat itu berpikir, kalau para ulama ini berkumpul bisa membahayakan karena bisa menyatukan kekuatan. Makanya dari awal para ulama atau kiai wilayahnya terpecah-pecah, ada yang ditaruh di Jagir, Sidoresmo serta Wonokromo seperti di Kampung Bureng ini,, hingga kini kampung ini masih banyak bahkan mendominasi keturunan ( Dzurriyah ) dari Sayyid Ali Ashghor Basyaiban .

Masjid Bureng ini tidak sekadar masjid tertua di Wonokromo. Tapi juga sebuah pondok pesantren yang diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1340. dulu yang membabat hutan kemudian mendirikan
padepokan itu sebagai pusat pengajaran agama Islam. Kini masjid dan ponpes itu bernama At-Taqwa Bureng yang saat ini jalan Akses menuju ke masjid sudah  padat  oleh rumah-rumah penduduk 


Pondok Pesantren  Bureng dulu konon ceritanya memiliki santri yang cukup banyak. Tapi, saat masa pemerintahan kolonial Belanda, terjadi politik adu domba Belanda untuk memperlemah perjuangan penduduk Pribumi, Masjid dan Pondok pesantren  ini diadu domba dengan Masjid dan Pondok pesantren lainnya. Salah satunya dengan masjid dan Ponpes di kawasan Ndoresmo atau yang sekarang dikenal dengan daerah Jagir Sidosermo. Belanda menggunakan taktik adu domba berupa ajaran Islam antara kedua masjid dan ponpes yang berbeda. Namun, tak tik adu domba Belanda itu tidak berlangsung lama, karena para pengurus ponpes memiliki dasar ajaran yang sebenarnya sama. Tapi, karena telanjur teradu domba, mereka melakukan usaha damai dengan melalui pernikahan.  Dari pernikahan itu terjadilah perdamaian. Namun, Belanda masih terus berusaha melakukan usaha pecah belah. Hingga akhirnya membuat Ponpes At-Taqwa sepi santri. 

Setelah masa revolusi, dengan adanya hubungan bersama masjid-masjid dan ponpes-ponpes lain di Kota Surabaya, Masjid dan Pondok pesantren ini kembali didatangi para santri. Kini pondok yang telah melakukan Renovasi di tahun 1985 tersebut fungsinya kurang maksimal dengan berkurangnya santri dan berkurangnya kharisma dan keilmuan dari Dzurriyah yang melanjutkan estafet pengembangan Pesantren , sehingga Fungsi yang ada sekarang hanya sebagai pondokan bagi mahasiswa sekitar yang masih mau mengaji dan menjadi tempat Kajian-kajian dan Acara-acara dari pengasuh yang ada .


KETURUNAN KELUARGA KAMPUNG BURENG 


Silsilah dan Dzurriyah warga Kampung Bureng Wonokromo surabaya yang sebagain besar merupakan Dzurriyah dari Kyai Tamim bin Sayyid Ali Asghor Nderosmo , dari Keturunan  Kyai Kahman dan Nyai Walijah (Wasilah/Waliyah). yang mempunyai Putri bernama Nyai Mu'minah dan menjadi Istri dari Kyai Chabib yang dari riwayat yang ada , Beliau pertama tinggal di Peneleh Surabaya dan Pindah ke Bureng  menjadi salah satu yang membuka " Babat Alas " kampung Bureng dan kini diyakini sebagai pendiri kampung Bureng yang setiap tahun menjelang romadhon diadakan Houl Mbah Chabib . ( Baca Silsilah Kampung Bureng

Disamping Dzurriyah dari Turunan Nyai Mu'minah juga merupakan Dzurriyah dari Nyai Mu'miroh yang menjadi istri dari kyai Mubarok yg riwayatnya tinggal di Ampel sebelum ke Bureng dan Asli dari Winongan pasuruan dan dari Nyai Muti'ah yang dinikahi Kyai Said  ( dari Ketegan yg Asli dr Pekalongan )

Dari ketiga Putri Kyai Tamim ini Turun temurun menjadi Warga dari kampung Bureng yang kemudian berkembang dengan Pertalian Keluarga yang menikah dengan keluarga besar dari Nderosmo , Simolawang, Peneleh , Kedungduro , Brebek dan lainnya  .

Pertalian keluarga dengan Kampung-kampung/ Daerah Pesantren di sekitar Surabaya dan Sidoarjo tersebut membuat Kampung Bureng masih menjunjung tinggi Tradisi keilmuan dan tradisi Amaliah dari Mbah-mbahnya .  dan dengan Pertalian keluarga yang hampir semua penduduk kampung bureng merupakan Saudara 

Gambar 1Gambar 2Gambar 3Gambar 4 Gambar 5Gambar 6Gambar 7Gambar 8 Gambar 1

Gambar 2

Wallohu A'lam Bissowab

والله أعلمُ بالـصـواب 
“Dan Allah Mahatahu yang benar atau yang sebenarnya”. 


Sumber : https://jabar.nu.or.id/kelembagaan/manuskrip-peninggalan-kh-r-muhammad-bin-alqo-sukamiskin-bandung-yGKSC?fbclid=IwAR2kUZXrVUkWxkDci_clssAKXGEK6NTYLM5mrUm0uYkkDGg2zd0hTCuRThY : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=pfbid02kiErWLcrWsWevKvohsyZiAJRaAL6gyx5g3jeR55NVLkscdrYbpZsLE6bAJPtGwr8l&id=570469695&mibextid=Nif5oz

Script

0 comments:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentar yang sekaligus sebagai Informasi dan Diskusi Kita , Bila Belum ada Jawaban Akan secepatnya ditindaklanjuti