Filled Under:

CAHAYA ILMU DI MAKKAH DARI TANAH SIWALANPANJI ( Syekh Abdul Muhith Ya’kub Panji As Siduarjuwi )




Cahaya Ilmu di makkah Al-Mukarromah yang selalu bersinar sebagai pusat Peradaban Islam Dunia ternyata juga ada yang lahir dari tanah yang diperebutkan penjajah karena subur dengan rempah-rempahnya 

Memang tidak banyak orang  yang mengetahui bahwa di tanah Siwalanpanji -Buduran Sidoarjo, Jawa Timur telah berkembang Ilmu dan Peradaban Islam dari sebuah Gubug-gubung yang menjadi Saksi Bisu sejarah mengukir perannya dalam mencetak kader-kader pejuang Ilmu dalam berda'wah dan memperjuangkan Peradaban .


Pondok Pesatren Al-Hamdaniyah merupakan salah satu Pondok Pesantren tertua di Jawa Timur , Pesantren yang didirikan tepatnya pada tahun 1787 M . Selain menjadi yang tertua, Pondok pesantren  ini juga menjadi salah satu saksi sejarah persebaran Islam di Jawa Timur. 

Pesantren yang terletak di desa Siwalan Panji Buduran Sidoarjo itu terbilang pesantren tertua di Jawa Timur setelah pesantren Sidogiri Pasuruan. Didirikan oleh KH Hamdani, ulama besar asal Pasuruan. yang merupakan seorang ulama keturunan Rasulullah yakni silsilah ke-27.


Di Pesantren ini  Cahaya Ilmu bersinar dengan dididiknya Kader-kader Pejuang Ilmu dan Peradaban termasuk juga pendidikan ke Dzurriyah Beliau , Syekh Abdul Muhith Ya’kub Panji As Siduarjuwi, Beliau merupakan Cucu dari KH Hamdani dari putra beliau yang kedua yaitu  KH Ya'qub, sehingga kadang juga disebut dengan Syekh Abdul Muhith Ya’kub Panji As Siduarjuwi , selanjutnya disingkat sebagai Syekh Abdul Muhith.

Terlahir dengan nama Abdul Muhith yang merupakan putra ke Delapan dari 8 Bersaudara , Beliau di didik langsung oleh sang bapak ( KH. ya'qub ) dan oleh sang Kakek ( KH Hamdani ) dengan pendidikan Khas pesantren Nusantara hingga kemudian Beliau di Perintahkan oleh Ayahnya untuk melanjutkan Pendidikannya di makkah Al-Mukarromah menyusul saudara-saudara Kandung beliau yang juga belajar di Makkah termasuk bersama KH Hasyim Asy'ari yang merupakan Saudara Ipar Beliau . 

Keberadaan sang Kakek (KH Hamdani ) yang mempunyai hubungan dengan beberpa ulama besar di Makkah dan Madinah termasuk keakraban beliau dengan beberapa ulama' yang ada di Makkah . mempermudah kehadirannya di Haromain serta didukung oleh  sang Ayah (KH. Ya'qub Hamdani ) yang merupakan seorang Ulama' dan seorang saudagar yang kaya raya pada zamannya , Dengan Rihlah Beliau untuk menunaikan ibadah haji kemudian memperdalam ilmu sekaligus memperoleh sanad guru-guru sebagai basis legitimasi keilmuan Beliau juga berguru kepada orang-orang alim dan saleh di Mekkah

Perlu diketahui bahwa  pembagian pendatang Haramain pada  masa tersebut, orang yang tinggal di wilayah yang jauh dari Mekkah pastilah banyak berkorban untuk bisa sampai di wilayah suci bagi umat Islam.  di era tersebut pada pendatang bisa dipilah menjadi tiga kategori. 
  1. Pertama, mereka yang datang ke Haramain dengan tujuan utama haji kemudian memilih menetap hidup dan berbaur di Mekkah. Mereka membaur dengan masyarakat setempat, mengupayakan diri semaksimal mungkin untuk bisa diterima di kalangan masyarakat tersebut. Kategori ini merupakan orang-orang biasa yang bukan merupakan ulama. Tujuan utama mereka adalah mengabdikan diri di tanah suci sebagai upaya meningkatkan relijiusitas diri dan terus beribadah sebagai pelayan dua tempat suci. contoh seorang yang bekerja sebagai pembersih ,  orang yang ikut serta dalam pembangunan  mereka  adalah masyarakat kebanyakan yang menceri berkah di dua  tempat suci.
  2. Kedua.  kelompok yang memang memiliki bekal komplit, baik ilmu maupun finansial. Mereka adalah para Kiai dan bahkan ulama dari beberapa wilayah yang ke Haramain dengan tujuan ibadah haji lalu memperdalam ilmu pengetahuan kepada para ahli di tempat tersebut dengan cara berdiskusi dan berdialog dan melibatkan diri dalam halaqah keilmuan keislaman. Kelompok ini biasanya banyak dari kalangan bangsawan dan saudagar pecinta ilmu. Mereka secara finansial sangat kuat di negaranya dan pada saat yang  bersamaan juga mencintai ilmu pengetahuan keislaman sehingga membekali diri dengan penguasaan keilmuan keislaman yang memadahi. Kelompok kedua ini sejatinya yang memainkan peran utama dalam jaringan ulama. Ketika mereka sudah mumpuni dari daerahnya masing-masing kemudian tinggal di Mekah-Medinah dan hadir dalam halaqahhalaqah keilmuan, dengan sendirinya mereka tercatat sebagai ulama pendatang yang kemudian meramaikan diskursus kajian keislaman. Pada akhirnya kelompok kedua ini menjadi tokoh-tokoh utama 
  3. Ketiga adalah kelompok yang disebut dengan ulama dan murid pengembara, yakni para pendatang yang tujuan utamanya adalah menunaikan ibadah haji lalu memperpanjang tinggal mereka di Haramain. Aktivitas mereka selama tinggal di tanah suci adalah berguru dan memperdalam ilmu serta memperoleh ijazah dari ulama-ulama terkemuka wilayah tersebut. Mereka biasanya mencari guru-guru dari tanah kelahirannya yang sudah menjadi tokoh masyhur di Haramain. Kelompok ini juga terdiri dari beberapa kelas  sosial, tidak semua mampu secara finansial seperti kelompok yang kedua. Berawal dari kecintaan terhadap ilmu, mereka memiliki himmah yang tinggi untuk bisa menyempurnakan ilmu mereka dengan berguru secara langsung kepada para ulama di Haramain. Bagi yang berasal dari keluarga yang berada, tentu tidak akan memiliki kendala berarti, mengingat hidup mereka di tanah suci untuk belajar telah tercukupi dengan bekal dan harta yang mereka miliki. Namun, banyak juga dari kelompok ini yang tidak memiliki kemampuan finansial. Mereka yang secara finansial tidak mampu namun telah  berbekal keilmuan memadahi menempuh pelbagai macam cara untuk bisa survive dan mendapat perhatian guru di tanah haram untuk bisa menjadi murid.

KH Abdul Muhith merupakan adik bungsu Nyai Khadijah, istri pertama Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari yang wafat di Makkah, dan beliau adalah menantu Syekh Nawawi Al-Bantani. Terlebih beliau termasuk santri kinasih dari putra Kiai Sholeh Darat yang menetap di Makkah. Syekh Abdul Muhith juga salah satu guru Syekh Yasin Al-Padani di Makkah 


KEBERADAAN SYEKH ABDUL MUHITH  DI MAKKAH 

Dalam beberapa cerita yang berkembang dikalangan Dzurriyah Mbah hamdani , tercatat  Abdul Muhith nama kecilnya  Syekh Abdul Muhith  yang merupakan anak ragil dari KH. Ya'qub Hamdani merupakan putra yang mempunyai sifat aneh dari putra-puta KH Ya'qub lainnya , Beliau saat di siwalanpanji cukup susah untuk disuruh Ngaji oleh Abahnya , manun Beliau mempunyai kemampuan bisa mengetahui ilmu-ilmu dan membaca kitab-kitab dengan lancar . hal tersebut membuat KH. Ya'qub Hamdani memerintahkan Beliau untuk belajar ke Makkah menyusul kakak-kakak Beliau yang ada disana yang saat itu tercatat ada Nyai Khodijah yang menjadi Istri Pertama Hadrotus Syech Hasyim As'ary , Ada Nyai Fatimah yang menjadi Istri KH. Khozin Choiruddin .

Memang tidak banyak yang tahu ihwal Syekh Abdul Muhith Ya’kub Panji As Siduarjuwi,  Selain karena beliau berkiprah dan menjulang jauh dari tanah kelahiran dan menjadi salahsatu cahaya ilmu di Makkah Almukarromah dari tanah siwalanpanji , tak heran, sumber informasi tentang beliau yang tersedia dan terjangkau sangat minim.

 Dicatat dalam beberapa buku biografi ulama-ulama Mekkah, diantaranya 

  • al-Jawāhir al-Hisān, karya Zakariya bin Abdullah Bela, A’lām al-Makiyyīn karya Abdullah al-Mu’allimi, 
  • Siyar wa-Tarājim karya ‘Umar Abd al-Jabbar 
  • dan yang terbaru al-Muhtaṣar al-Ḥāwī fī Tarājim ba‘ḍi ‘Ulamā’i Bilādi Jāwī karya Ahmad Ginanjar, 

Hijaz di abad ini, utamanya di kota Makkah sudah dikenal jenjang pendidikan, yaitu al-Ta’lim al-wwali (pengajaran dasar) dan al-Ta’lim al-‘Ali (pengajaran tinggi). Al-Ta’lim al-Awwali adalah proses belajar mengajar yang berlangsung di Kuttab. Terdapat kurang lebih 100 Kuttab yang tersebar di 4 kota besar di Hijaz yaitu Makkah, Madinah, Thaif dan Jeddah 

Masjid Al-Haram saat itu menjadi institusi paling megah yang di dalamnya terdapat kurang lebih 25 halaqah keilmuan setiap harinya yang dilaksanakan setelah shalat subuh hingga setelah shalat isya‟. Para pelajar diberi kebebasan untuk memilih halaqah yang diminati dan ingin didalami. Jumlah halaqah di Masjid al-Haram mencapai 120 halaqah yang dilangsungkan pada pagi,siang, sore dan setelah maghrib

Tercatat beberapa nama ulama terkemuka saat itu, seperti Syeikh Sulaiman Afandi, Syeikh Khalil Pasya, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan, Sayyid Muhammad Zainuddin Syatha, Syeikh Mushthafa Afifi (Mesir) dan Syeikh Minsyawi (Mesir). Namun di antara sekian banyak Syeikh yang ada, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan dan Sayyid Muhammad Zainuddin Syatha merupakan dua ulama yang masyhur di kalangan pelajar yang berasal dari Jawa atau Indonesia. Tidak terhitung pelajar Jawa yang ngangsu kaweruh kepada kedua ulama yang alim ini

Bahkan, di antara pelajar tersebut terdapat beberapa orang yang mengabdikan diri sebagai pelayan pribadi sang Syeikh seperti Abd asy-Syakur yang berasal dari Surabaya. Selain menjadi pelajar dar iSayyid Muhammad, beliau mengabdikan diri sebagai khadam sang Syeikh.

Berikutnya, muncul beberapa nama pelajar dari Para Syeikh di atas yang sangat menonjol keilmuannya dan bahkan sudah berkiprah menyebarkan ilmu di Makkah seperti Syeikh Nawawi al-Bantani(Banten), Syeikh Abdul Karim (Banten), Syeikh Marzuqi (Banten), Syeikh Mahfudz (Tremas) dan Syeikh Ahmad Khatib (Minangkabau). Pada perkembangan tradisi keilmuan, pelajar Indonesia yang berada di Makkah dianggap telah sempurna dalam pembelajaran apabila telah mendapatkan pengajaran dan pendidikan dari ulama-ulama kenamaan Indonesia tersebut

Disini Beliau (Syekh Abdul Muhith ) tercatat sebagai  santri dari Syekh-syekh Masyhur di Makkah  juga syekh di Makkah yang berasal dari Nusantara dan menurut cerita dari Dzurriyah yang ada beliau merupakan Santri dan bahkan diambil menantu oleh Syekh Nawawi al-Bantani   , dan Beliau Juga tercatat sebagai salah satu pengajar di Masjidil Haram Makkah sejak awal abad ke-20 Masehi. Guru beberapa ulama Indonesia . 

Syaikh Sultan bin Ahmad al-Mazahi dan Ali bin Ibrahim al-Halabi mengajarkan fikih Syafiiyah kepada Syaikh Ahmad alBasybisyi kemudian berlanjut kepada Syaikh Ahmad al-Khalify kemudian berlanjut kepada Ustad Muhammad bin Ali al-Hafany kemudian berlanjut kepada asy-Syarqawi kemudian berlanjut kepada Syaikh Usman bin Hasan ad-Dimyati kemudian berlanjut kepada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan kemudian berlanjut kepada Sayid Abi Bakar bin Muhammad Syat}a al-Makkiy hingga sampai kepada al-„Alamah Syaikh Mahfuz at-Turmusi "ulama asal Indonesia kelahiran Tremas Pacitan Jawa Timur yang hijrah ke Mekkah Arab Saudi Hingga wafat di sana. 

Dari Syaikh Mahfuz at-Turmusi ini banyak sanad keilmuan fikih Syafiiyah bersambung kepada ulama-ulama besar Indonesia. Dari sekian banyak murid-muridnya yang masyhur antara lain Hadratusyaikh KH Hasyim Asy‟ari Ra’is Akbar Jam‟iyyah Nahdatul Ulama yang menjadi muara keilmuan dari ulama-ulama Indonesia (Jombang), KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Abbas (Buntet-Cirebon), KH Khalil, KH Ma‟sum, dan KH Sidiq bin Abdillah (ketiganya dari Lasem), KH Nawawi (Pasuruan), Syaikh Muhammad al-Baqir bin Nur (Jogjakarta), KH Raden Dahlan as-Samarani (Semarang), KH Abdul MuhitYa‟qub (sidoarjo), KH Abdu Muhammad Faqih bin Abdil Jabar(Maskumambang-Gresik), serta KH Muhammad Dimyati at-Turmusi (Tremas)

Syekh Abdul Muhith tercatat juga menjadi Guru dari beberapa Ulama' Nusantara diantaranya termasuk

  • KH Abdul Wahhab Hasbullah 
  • KH Abdul Chalim Leuwimunding
  • Syekh Yasin Al-Padani ( Menjadi Sanad Ilmu-ilmu Beliau ) 

ketika rihlah ilmiah di Makkah. Mengajar beberapa kitab penting, bahkan babon, yang menjadi kitab daras di beberapa pesantren di Tanah Air. 


1. SYEKH NAWAWI AL-BANTANI

 


Shaikh Nawawi al-Bantani memiliki nama lengkap Abu Abdu alMu‟thi Muhammad bin Umar Ali bin Arabi al-Tanari al-Bantani al-Jawi. Dari namaini dapat diketahui bahwa beliau berasal dari kalangan al-Jawi atau Jawa, tepatnyaberasal dari daerah Tanara,Tirtayasa, Banten. Putra pertama dari seorang Ibunda yang religiusbernama Zubaidah danAyahanda K.H Umar bin „Arabi yang merupakan penghulu di Tanaraini lahir pada tahun 1230 H/1813 M16. Silsilah nenek moyang beliau dari pihak ayah bersambung ke sultan pertama Banten, yaitu Maulana Hasanuddin yang merupakan keturunan dari Maulana Syarif Hidayatullah dari Cirebon, salah satu dari Wali Sembilan (Wali Songo).Dan bila dirunut ke atas, nasab beliau melalui jalur inis ampai kepada Baginda Nabi Muhammad, sedangkan nasab dari ibunda beliau sampai kepada Muhammad Singaraja.

 Beliau dianugrahi 3 orang putri dan 1 putra yaitu Mariam, Nafisah, Ruqayah dan Abdul Mu‟thi dari perrnikahan pertamanya dengan Nyai Nasimah. Sedangkan dari pernikahan beliau yang ke dua terjadi Pada usia menjelang 100 tahun, Syaikh Nawawi menikah dengan Nyai  Hamdanah, putri KH. Sholeh Darat Semarang13 yang saat itu berusia antara 7 sampai 12 tahun. Dengan Nyai Hamdanah, Syaikh Nawawi dikaruniai seorang putri yang  bernama Zuhroh. . Sepeninggal Syaikh Nawawi, Nyai Hamdanah menikah dengan KH. Raden Asnawi, salah seorang murid Syaikh Nawawi, dan tinggal di Kudus, Jawa Tengah.Di kota ini, Nyai Hamdanah di kemudian hari dikenal sebagai guru yang mempunyai banyak murid perempuan

Menantu Syaikh Nawawi seluruhnya orang Indonesia. Mereka adalah para santri Syaikh Nawawi. Meskipun mereka dikenal alim, namun tidak ada satu pun dari mereka yang menulis karya besar seperti halnya Syaikh Nawawi., Salahsatu menantu beliau yang menikahi Putri beliau dari Nyai Hamdanah yaitu Nyai  Zuhroh adalah Syekh Abdul Muhith Ya’kub Panji As Siduarjuwi

Tiga cucu Syekh Nawawi Banten berdasar tiga foto jadul, dari jalur trah Sidoarjo, yakni dari Syekh Abdul Muhith, karena Syekh Abdul Muhith adalah menantu Syekh Nawawi Al Bantani


Keilmuan Beliau yang menimba ilmu di Hijaz dimulai saat  usia 15 tahun, dua tahun setelah sang ayah wafat, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana selama kurang lebih 3 tahun (1830-1833) untuk menuntut ilmu. Di sana beliau belajar berbagai pengetahuan agama Islam kepada guru-guru ternama, di antaranya adalah :Syeikh Ahmad Khatib al-Sambasi, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Yusuf Sumbulaweni,Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syeikh Ahmad Dimyathi,Syeikh Ahmad Zaini Dahlan,Syeikh Muhammad Khatib alHanbali, Syeikh Junaid al-Batawi. Dari sembilan guru beliau, tiga diantaranya yang paling berpengaruh,yaitu: 

  • Syeikh Yusuf Sumbulaweni,
  • Syeikh Sayyid Ahmad Nahrawi dan 
  • Syeikh Abdul Hamid al-Daghastani.

Lewat ketiga Syeikh inilah karakter beliau terbentuk , 
Beliau wafat di usia 84 tahun pada 25 Syawwal 1314 H/1897 M., dan dimakamkan di Ma‟la,

2. SYEKH YASIN AL-PADANI



Beliau  yang bernama lengkap beliau adalah Abu al-Faydl ‘Alam al-Din Muhammad Yasin ibn Muhammad ‘Isa al-Fadani. Ulama keturunan Padang. Mufti (pemberi fatwa) mazhab Syafi’i di Mekah, Syekh Yasin Padang lahir, besar, berkarir, dan wafat di Makkah, dari kedua orang tua yang berasal dari Nusantara, tepatnya dari Padang, Sumatera Barat. Syekh Yasin Padang berkebangsaan Saudi Arabia. Ayahnya, Tuan Isa bin Udik, adalah generasi pertama yang hijrah dari Padang ke Makkah pada akhir abad ke-19 M. , Lahir pada tahun 1335 H./ 1915 M. Syekh Yasin al-Faddani menikah di usia 40 tahun, beliau meninggalkan seorang istri dan empat orang putra. saat wafat di Makkah Almukarromah pada musim haji 28 Dzul Hijjah 1410 H /  21 Juli 1990 M

Syekh Yasin Padang dikenal sebagai ulama besar dunia Islam dalam bidang hadits dan asânid (sanad) pada paruh kedua abad ke-20 M. Beliau mengajar di Masjidil Haram dan menjadi salah satu pemuka ulama terbesar di sana, sekaligus mengampu Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah, sebuah institusi pendidikan keilmuan agama Islam terkemuka di Makkah . Beliau sebagai  penulis beberapa literature khazanaha keislaman. Lahir pada tahun 1335 H./ 1915 M. 

Syekh Yasin juga dikenal sebagai sosok ulama yang sering minta Ijazah dari para ulama-ulama terkemuka sehingga Beliau memilki sanad yang luar biasa banyaknya.Karena kedalaman ilmunya  Syekh Yasin al-Fadani dijuluki sebagai “Gudang Sanad Dunia Abad ke-20” atau Musnid ad-Dunya. Untuk diketahui, gelar musnid tidak dapat disematkan begitu saja tanpa pengakuan yang luas.Gelar lainnya yang kerap disandangkan kepada Syekh Yasin al-Fadani adalah Bahr al-’Ulum ( samudra ilmu). Sebab, Beliau memiliki sanad yang banyak dalam bidang hadis. Ada banyak julukan kemuliaan yang disematkan kepadanya, seperti 'Ilmud Dîn (pelita ilmu pengetahuan agama), al-muhaddits (guru besar hadits), al-‘allâmah (seorang yang kapasitas keilmuannya di atas rata-rata), musnidud dunyâ (mata rantai periwayatan hadits pada zamannya), dan lain-lain. Karena itu, tidaklah mengherankan jika murid-murid Syekh Yasin Padang adalah para ulama sentral dari berbagai pelosok dunia Islam.


Syaikh Yasin al-Fadani selalu merasa belum puas dengan keilmuan yang beliau miliki. Ia merasakan belum cukup bila hanya mengandalkan menimba ilmu di Dar alUlum. Maka dari itu ia mengaktifkan diri dalam mengikuti pelajaran majlis cendekiawan yang diselenggarakan di Masjidil Haram, khuttab atau menghadiri halaqah yang di selenggarakan secara musiman atau tahunan. Banyak sekali majelis-majelis Cendekiawan yang di serap ilmunya di luar madrasah Dar al-Ulum inilah Syaikh Yasin al-Fadani belajar spesialis ilmu dengan lebih mendalam, semisal belajar kepada Syaikh Umar Hamdan alMahrusi,ia belajar ilmu hadis dan sanad. Kepada Sayyid Muhammad Ali al-Makki, ia belajar Gramatika Arab, Ushul Fiqh, dan Qawaid al-Fiqhiyyah. Kepada Sayyid Alawi alMaliki, ia belajar ilmu-ilmu sebagaimana beliau belajar kepada Sayyid Muhammad Ali al-Makki. Kepada Syaikh Khalifah an-Nabhani, ia belajar Ilmu Falak dan Miqat.

Selain kepada Ulama di atas, Syaikh Yasin al-Fadani juga belajar kepada Ulama Nusantara yang berkiprah di Haramain semisal Syaikh Baqir al-Jukjawi, Sayyid Mansur bin Abdul Hamid al-Palimbani al-Makki Syaikh Mukhtar bin’Athraid al-Bughuri, Syaikh Abdul Muhid al-Sidoarjoi, Syaikh Wahyudin bin Abdul Ghani al-Palimbani Syaikh Abdul Muhaimin al-Lasemi, dan Syaikh Abdul Karim alMinagkabawi, dan lain-lain.

Karya pemikirannya lahir lebih dari seratus buah, kesemuanya ditulis dalam bahasa Arab dan mengkaji pelbagai bidang keilmuan Islam, mulai dari ilmu tauhid (teoilogi Islam), fikih (yurisprudensi Islam), ushul fikih (filsafat yurisprudensi Islam), balaghah (retorika), manthiq (logika), hadits, dan utamanya dalam bidang ilmu transmisi intelektual atau ilmu sanad (‘ilm al-asânid wa al-tsabat wa al-ijâzah). Dalam rentang sejarah keilmuan Islam selama kurun waktu 14 abad ini, bisa dikatakan Syekh Yasin Padang adalah orang pertama yang menghimpun karangan ilmu sanad ulama-ulama Islam sepanjang zaman dan dari pelbagai pelosok dunia. Karena ini pulalah, beliau dijuluki “musnid al-dunyâ”.


Salah satu karya terpenting Syekh Yasin Padang dalam bidang “ilmu sanad” ini adalah kitab “al-‘Iqd al-Farîd min Jawâhir al-Asânid”. Kitab ini menghimpun kumpulan sanad ulama-ulama Nusantara. Dalam konteks kajian sejarah peradaban dan keilmuan Islam Nusantara, tentu kitab ini memiliki kedudukan yang sangat penting dan istimewa, karena dalam kitab inilah jejaring dan genealogi intelektual para ulama Nusantara dapat terlacak dan terbaca dengan sangat jelas dan runut.  Naskah “al-‘Iqd al-Farîd” dalam versi cetakan “Dâr al-Saqqâf” Surabaya (Jawa Timur),yang cetak bulan Rajab tahun 1401 Hijri (Mei 1981 Masehi). Besar kemungkinan kitab ini ditulis pada tahun yang sama dengan tahun percetakannya. Tertulis pada halaman akhir kitab;


تم بحمد الله في شهر رجب الفرد سنة 1401 هـ // طبع هذا الكتاب // بدار السقاف للطباعة والنشر والتوزيع// ص.ب. 127// سرابايا – إندونيسيا


(Telah selesai dengan memuji kepada Allah, pada bulan Rajab tahun 1401 Hijri, mencetak kitab ini, pada percetakan Dâr al-Saqqâf, po box 127 Surabaya, Indonesia).

Dalam kitab tersebut tertulis nama seorang tokoh Sidoarjo disebut di dalamnya. yekh Abdul Muhith Ya’kub Panji As Siduarjuwi yang menjadi Salahsatu Guru Beliau yang menjadi Sanad keilmuan Beliau (Syekh Yasin Padang)

 


Di sisi lain, dari kitab Syekh Yasin Padang “Al ‘Aqdu al Farid min Jawahiri al Asanid” (1401 H) diketahui sanad atau transmisi keilmuan yang berpangkal pada Syekh Muhith ketika mengajar di Masjidil Haram, Makkah. Sanad ini menarik karena salah satu guru Syekh Abdul Muhith adalah putera dari Kiai Soleh Darat yang menetap di Makkah dan menjadi pengajar di sana, yaitu Syekh Umar Semarang bin Sholeh bin Umar. Apalagi ternyata Syekh Umar juga bersanad pada ayahnya sendiri yang dikenal dengan KH. Soleh Darat, ketika beliau menjadi pengajar di Makkah, sebelum ‘dipaksa’ kembali ke tanah Jawa menjelang akhir abad ke-19. Selain itu, Kiai Abdul Muhith juga tercatat berguru langsung pada Syekh Mahfud At Turmusi atau Termas. 

Sementara itu, sanad kitab-kitab yang didapatkan Syekh Yasin Padang dari Syekh Abdul Muhith –meskipun Syekh Yasin Padang kadang juga mendapatkannya dari syekh lainnya– adalah sebagai berikut:



(1) “Al Jami’ as Shahih”, karya Imam Bukhari. Salah satu sanad Syekh Yasin Padang adalah dari ‘Alamah Kiai Abdul Muhith dari Kiai Umar bin Sholeh As Semarani, yang mendapatkannya di Makkah dari ayahnya Sholeh bin Umas As Samarani, mendapatkannya dari Syekh Abdus Shomad Al Falimbani.

(2) “Kitab as Sunan” karya Imam Abu Dawud. Salah satu sanad Syekh Yasin Padang adalah dari Kiai Abdul Muhith, dari muhaddits Sayyid Husain bin Muhammad Al Habsyi Al Makki, dari Syekh Zaini Dahlan, seorang mufti Syafiiyah di Makkah.

(4) “Al Itqan fi Ulum al Quran wa Luba an Manqul fi Asbab an Nuzul”, karya Imam Suyuti. Syekh Yasin mendapatkannya dari Syekh Abdul Muhith, mendapatkannya dari Umar bin Soleh As Samarani, mendapatkannya dari Syekh Qiroah Muhamad bin Musa, dari Syihab Abul Abbad, yang mendapatkan sanad dari dua tokoh, yaitu Muhammad Fadoli dan Ibrahim Bajuri.

(6) “Lum’at al I’tiqad” karya Imam Muwafiq bin Qudamah. Salah satu sanad Syekh Yasin adalah dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya Abu Khoir Ahmad bin Utsman al ‘Athar Ahmadi Al Makki, dari Sayyid Hasyim Al Habsyi Al Madani.

(7) “Al Um” karya Imam Syafii. Syekh Yasin dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari seorang fakih Kiai Umar bin Sholeh As Samarani, dari ayahnya di Makkah, yaitu Kiai Soleh bin Umar, yang mendapatkannya dari Syekh Abu Shamad Al Falimbani.

(9) “Al Muhadzdzab” karya Syekh Abu Ishaq as Syirazi. Sanad Syekh Yasin dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari Syekh Ahmad bin Abdul Latif Khotib Al Minakabawi.

(10) “Al Fath al Aziz Syarah al Wajiz” karya Imam Rofii. Sanadnya sama dengan “Al Um”.

(11) “Al Minhajul Jumu’ Syarah Al Muhadzab wal Aidhakh” karya Imam Nawawi. Sanadnya sama dengan “Al Um”.

(12) “At Tahrir wal Minhaj” karya Imam Zaini Zakariya. Syekh Yasin mendapatkannya Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari Kiai Mahfud At Tarmasi.

(13) “Al Muqoddimat Wal Hadromiyyah” karya Syekh Abdullah Ba Fadl. Sanad Syekh Yasin dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari Syekh Mahfud at Tarmasi.

(14) “Tawdih Alfiyah ibn Malik wa Mughn al Labib wal Kutub al A’arib”. Syekh Yasin mendatakannya dari Kiai Abdul Muhith, yang mendapatkannya dari Syekh Mahfud At Tarmasi.

(15) “Mutammimah al Jurumiyah”. Sanad Syekh Yasin dari Kiai Muhith, yang mendapatkannya dari Alamah Syekh Ahmad bin Abdul Latif Al Khatib Al Minakabawi, dari Syekh Nawani Al Bantani.


3. KH. ABDUL WAHAB HASBULLAH


KH Abdul Wahab Hasbullah adalah lahir dari  sang Ayah bernama KH Hasbulloh Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah putri dari KH. Abdul Wahab dari tawangsari -Sidoarjo.  


KH. Abdul Wahab Hasbullah lahir  pada 31 maret 1888 di Tambakberas, jombang.  KH. A. Wahab Hasbullah kecil banyak menghabiskan waktunya untuk bermain sebagaimana anak kecil pada umumnya. Ia tidak hanya bermain dengan saudaranya tetapi ia juga bermain dengan santri-santri ayahnya. Selain itu, karena tumbuh di lingkungan pesantren ia juga mulai sejak dini diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk, dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’ dan shalawat. Kemudian, tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengann berziarah ke makam-makan leluhur dan melakukan tawasul.

Kiai Wahab Hasbullah bersama KH M Arief Hasan, Pengasuh Pesantren Raudlatun Nasyi'in Beratkulon, Kemlagi Mojokerto dan Kiai Mohammad Ali. 

Pada tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah, menikah dengan putri Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu, ia tinggal bersama mertua di kampung Kertopaten, Surabaya. Namun pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua
menjalankan ibadah haji pada 1921 M.  Sepeninggal Maimunah, ia menikah lagi dengan Alawiyah, putri dari KH Alwi Tamim. Dari perkawinan ini ia di karuniai seorang putri bernama Khadijah yang kemudian menikah dengan Kiai Abdul Mu’in dari Bangil. Kemudian Khadijah meninggal tahun 1987. Masih dalam perkawinan dengan Alawiyah, ia menikah lagi di Jombang dengan seorang perempuan bernama Rahmah, putri K. Abd.Sjukur. akan tetapi pernikahan dengan Rahmah ini tidak berlangsung lama, ia bercerai dan tidak mempunyai putra. Kemudian ia menikah lagi tiga kali, kemudian bercerai, dan tidak mempunyai anak.

Sewaktu melaksanakan ibadah haji tahun 1920 KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Asna binti Said asal Surabaya dan memiliki putra bernama Nadjib (meninggal tahun 1987). Setelah itu, ia menikah dengan Fatimah binti Burhan, tetapi tidak di karuniai putra. Sebelum disunting KH. Abdul Wahab Hasbullah, Fatimah telah mempunyai putra bernama Ahmad Saichu yang kemudian menjadi tikih NU. 
KH. Abdul Wahab Hasbullah kembali menikah dengan Fatimah binti Ali asal Mojokerto dan Askanah binti Muhammad Idris dari Sidoarjo. Dari kedua istri tersebut ia juga tidak mempunyai putra.
Selanjutnya, KH. Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Masmah, sepupu Asna binti Said, dan mempunyai seorang putra bernama Moh. Adib. Sepeninggal Masmah, ia menikah lagi dengan Aslihah binti Abdul Majid asal Bangil, Pasuruan dan mempunyai dua putri, Djumiyatin dan Muktamaroh. Aslihah meninggal pada tahun 1939, kemudian ia menikah dengan Sa’diyah, kaka Aslihah. Dari pernikahannya dengan Sa’diyah, ia mempunyai lima putra, yaitu Machfudzoh, Hizbiyah, Munjidah,
Muh. Hasib, dan Muh. Roqib.

Seperti halnya tradisi pendidikan santri yang selalu tidak berguru pada satu pesantren, K.H Wahab Hasbullah pun demikian, selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan di beberapa pesantren. Hal itu merupakan hal jamak. Banyak santri yang juga melakukan
praktik belajar ke beberapa pesantren karena satu pesantren dengan pesantren lainnya memiliki keistimewaan yang berbeda, bahas Arab maupun tasawuf. Dengan jalan seperti itulah diharapkan mereka memiliki beberapa pengetahuan, kemudian siap terjun dalam masyarakat. Di antara pesantren yang pernah disinggahi WahabHasbullah adalah sebagai berikut:
  1. Pesantren Langitan, Tuban.
  2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
  3. Pesantren Cempaka. (di bawah asuhan Kiai Zainuddin)
  4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang. 
  5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
  6. Pesantren Branggahan, Kediri.Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.
Setelah lama belajar ke berbagai pesantren, seperti  halnya kebanyakan santri Jawa saat itu, K.H Wahab Hasbullah pada umur 27 tahun juga memperdalam keilmuannya, terutama ilmu agama di Makkah. Beliau belajar di kota suci ini selama kurang lebih 5 tahun. Di makkah, ia bertemu dengan ulama terkemuka dan kemudian berguru pada mereka. Seperti yang telah di sebutkan di atas di antara guru-gurunya selama di Makkah adalah sebagai berikut:
  1.  Kiai Mahfudz Termas.
  2.  Kiai Muchtarom Banyumas.
  3.  Syaikh Ahmad Khotib Minangkabau.
  4.  Syaikh Sa’id Al-Yamani.
  5.  Syaikh Ahmad Abu Bakri Sata.

Ada nukilah menarik terkait dengan sosok Syekh Abdul Muhith. Berdasar kitab “Sejarah Perjuangan Kiyai Abdul Wahhab (Hasbullah, red.)”, berbahasa Melayu, beraksara Pegon, karya KH. Abdul Halim Leuwimunding, Gus Sya’ban menjelaskan ketika KH. Abdul Halim Leuwimunding bersama-sama dengan senior-gurunya KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambak Beras, Jombang) berada di Makkah pada tahun 1913, keduanya belajar kepada Syekh Abdul Muhith.

Dari situlah diketahui bahwa Syekh Abdul Muhith tercatat sebagai salah satu pengajar di Masjidil Haram Makkah sejak awal abad ke-20 Masehi. Guru beberapa ulama Indonesia termasuk KH Abdul Wahhab Hasbullah ketika rihlah ilmiah di Makkah

Bahkan, yang lebih menarik, biografi Syekh Abdul Muhith termuat dalam kitab berbahasa Arab berjudul “Natsr al-Jawâhir wa al-Durar fî Tarâjim ‘Ulamâ al-Qarn al-Râbi’ ‘Asyar” karangan Dr. Yûsuf al-Mar’asylî. Selain itu, biografi Syekh Abdul Muhith juga terdapat dalam kitab “Tasynîf al-Asmâ’” karangan Syekh Mamdûh al-Mashrî.

Beliau wafat dan dimakamkan di tanah suci Makkah pada 1384 Hijriah/1964 Masehi.


DZURRIYAH SYEKH ABDUL MUHITH


Terkait dengan Dzurriyah Syekh Abdul Muhith ada beberapa versi.  

Merunut dari foto tiga cucu Syekh Nawawi Banten dari jalur Syekh Abdul Muhith. Dijelaskan, Nyai Zahra, salah seorang puteri Syekh Nawawi menikah dengan Syekh Abdul Muhith. Dari pernikahan tersebut, lahirlah empat orang putera, yaitu Ahmad bin Abdul Muhith, Abdurrahman bin Abdul Muhith, Shadaqah bin Abdul Muhith, dan Abdul Muntaqim bin Abdul Muhith. Adapun dalam foto, yang tidak ada hanya yang bungsu.

Berdasar beberapa sumber, Dzurriyah  Syekh Abdul Muhith menyebar ke beberapa tempat. 

KH. Ahmad bin Abdul Muhith pulang ke Surabaya, menjadi menantu KH. Nur Fadhil (Sukolilo, Surabaya) sekaligus menjadi imam besar Masjid Sunan Ampel Surabaya. Ia kemudian pulang ke tempat asal leluhurnya di Pesantren Siwalanpanji Sidoarjo. 

Syekh Abdurrahman menetap di Jeddah. Adapun Syekh Shadaqah menetap di Makkah dan menjadi pengajar di Madrasah Darul Ulum, Makkah. Syekh Abdurrahman dan Syekh Shadaqah ini menjadi warga negara Saudi Arabia hingga wafat.

Namun, ada pula versi yang berbeda. Sebuah sumber, Zumrotul Mukaffa ( GusNurul Ilmi Badrud Dhujjah )  menjelaskan bahwa memang Syekh Abdul Muhith memiliki empat putera, tetapi keempatnya lahir dari ibu yang berbeda. 
Pertama, KH. Ahmad bin Abdul Muhith dari Nyai Zuhro, puteri Syekh Nawawi Al Bantani. Nama sang isteri Syekh Abdul Muhith agak berbeda dengan versi sebelumnya, tetapi identik. Bukan Nyai Zahro, tetapi Nyai Zuhro. Hanya berbeda pada harakat awal. 
Kedua. Abdurrahman bin Abdul Muhith dari Nyai Rabi’ah. Ketiga, Syekh Shadaqah bin Abdul Muhith dari Nyai Fatimah. Keempat. Keempat, Abdul Muntaqim bin Abdul Muhith dari Nyai Ruqoyyah.


“Jadi cucu Syekh Nawawi atau putera Syekh Abdul Muhit dengan Nyai Zuhro hanya satu putera, yaitu KH. Ahmad bin Abd Muhith saja. Data ini disampaikan dan ditulis langsung oleh putera Kiai Abdul Muhith yang keempat atau bungsu, Syekh Abdul Muntaqim yang sekarang (2023, red.), masih sugeng dan tinggal di Jeddah,


Wallohu A'lam Bissowab

والله أعلمُ بالـصـواب 
“Dan Allah Mahatahu yang benar atau yang sebenarnya”.

https://www.nu.or.id/amp/pustaka/kitab-sanad-ulama-ulama-nusantara-karya-syekh-yasin-al-fadan-NMnT4
https://www.laduni.id/post/read/66897/biografi-syekh-yasin-al-fadani
https://santrinews.com/uswah/mengenal-kh-abdul-muhith-sidoarjo-2-dzurriyah-santri-dan-jejak-intelektualnya-di-makkah
Script

0 comments:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Komentar yang sekaligus sebagai Informasi dan Diskusi Kita , Bila Belum ada Jawaban Akan secepatnya ditindaklanjuti